Penulis : KH. Muhyiddin Abdusshomad
Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Mei 2011
Tebal : xiv+186 Halaman
Harga : Rp. 45.000,-
Pemesanan : 0858 5067 7244 (WA)
Shalat adalah ibadah (ritual) yang dipersembahkan kepada
Allah SWT sebagai wujud rasa syukur seorang hamba agar mendapat ridha dan
rahmat-Nya. Shalat juga adalah sebagai sarana komunikasi untuk bermunajat
kepada Allah, dan merupakan bentuk dialog antara seorang hamba dengan Sang
Khaliq.
Kalau ditanya, apa yang paling Islam dalam agama Islam? Jawabannya
adalah shalatnya. Shalat merupakan rukun Islam setelah seorang berikrar
mengucapkan dua kalimat syahadah (bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammad adalah utusan-Nya). Shalat dikatakan paling Islam, karena
beberapa ritual dalam Islam merupakan akulturasi budaya dari agama sebelumnya. Secara
dhahir, seseorang dikatakan muslim jika ia melakukan shalat (shalat fardu, lima
waktu).
Perintah diwajibkannya melaksanakan shalat merupakan yang
istimewa dibandingkan dengan beberapa kewajiban lainnya dalam Islam. Ketika
Allah hendak memerintahkan shalat kepada umat Islam, lalu Nabi Muhammad SAW
dipanggil langsung untuk menghadap kepada-Nya guna menerima perintah shalat. Peristiwa
ini kita kenal dengan isro’ dan mi’roj. Tetapi kewajiban yang lain seperti
puasa, zakat, berhaji (bagi yang mampu) melalui perantara malaikat Jibril. Itulah
satu keistimewaan perintah shalat.
Secara substantif, ketika Allah hendak memerintahkan shalat
caranya adalah dengan cara memanggil Nabi Muhammad menghadap-Nya, yang
menandakan tidak ada tabir (penghalang, jarak) antara Allah dan Nabi Muhammad, maka
sesungguhnya pula bahwa shalat adalah merupakan media komunikasi (interaksi langsung)
antara seorang hamba dengan sang Khaliq.
Ketika shalat dijadikan sebagai instrumen komunikasi antara
yang dicipta dengan pencipta, maka shalat merupakan kebutuhan dasar setiap
individu. Artinya, kalau meminjam bahasanya KH Moh Zuhri Zaini dalam pengantar
buku ini, bahwa tidak akan menurunkan derajat ke-Tuhan-an Allah kalau hamba
tidak melakukan shalat (menyembah) begitu juga sebaliknya, tidak menambah
derajat Allah walaupun seorang hamba melakukan shalat. Dapat disimpulkan, bahwa
Tuhan tidak butuh dengan penghambaan umatnya, melainkan hamba yang membutuhkan
terhadap shalat itu.
Suatu bukti empris bahwa shalat sebagai kebutuhan bagi
manusia, belakangan ini banyak yang mengkaitkan shalat dengan kesehatan, etos
kerja dan kesuksesan. Misalnya penyembuhan penyakit dengan terapi shalat sunnah
tahajjud, shalat hajat, istikharah, dhuha dan lainnya untuk sebuah kesuksesan
dan karir serta beberapa praktek shalat lainnya yang memang menjadi dasar
kebutuhan manusia. Karena manusia dicipta oleh Allah, dalam ilmu psikologi
dikenal sebagai makhluk yang selalu mencari kepuasan untuk memenuhi kebutuhan
dirinya. Ketidakpuasan terhadap sesuatu itu membuat seseorang tidak henti
mencari kebutuhan.
Karena shalat merupakan perintah agama, maka didalam
mendirikannya ada sebuah tuntunan: cara dan waktu. Sebagaimana sabda Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari “shalluu kama raaitumuunii ushalli” (shalatlah, seperti
kalian melihat aku shalat). Shalat tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan
keputusan dan pemahamanannya sendiri-sendiri. Kenapa demikian, karena katika
seseorang hendak dan melaksanakan shalat berarti ia akan menghadap dan
berdialog dengan yang Maha Suci.
Perbedaan tata cara melaksanaan shalat disebabkan oleh
sebuah doktrin dari suatu aliran yang dipahami oleh setiap individu dan
kelompok. Dari adanya perbedaan itu tadi dalam praktek shalat, berujung pada
sebuah ejekan (saling menyalahkan dan mengaku dirinya paling benar). Walaupun
yang menghakimi shalat kelompok tertentu salah itu terkadang tanpa didasari
pada sebuah dalil dan rujukan yang jelas, hanya berdasar emosi dan kepentingan.
Perbedaan seperti itu perlu dihindari, karena hanya mengganngu terhadap
kekonsentrasian shalat. Bahkan belakangan ini (katanya) muncul akibat
penafsiran yang keliru terhadap suatu teks yang namanya praktek “shalat bersih”.
Bagaimana ritual ini dilaksanakan? Shalat bersih ini pelaksanaannya berada
dalam ruangan khusus, laki-laki dan perempuan bercampur, ruangan yang gelap, ketika
mau hendak melaksanakan shalat semua telanjang bulat, tanpa busana sedikitpun
antara laki-laki dan perempuan.
Buku Shalatlah Seperti Rasullullah (Dalil Keshahihan Shalat
ala Aswaja) merupakan jawaban terhadap
beberapa persoalan diatas. Tidak bermaksud untuk menggurui tetapi hendak
meluruskan beberapa praktek shalat yang telah menyimpang sebagaimana yang
digariskan oleh Rasulullah SAW, seperti sabdanya shalluu kama raaitumuunii
ushalli.
Ahlussunnah wal jamaah, spesifik warga nahdhiyyin (sebutan
dari warga Nahdlatul Ulama – NU) yang selalu mendapat tudingan bahwa terdapat
praktek-praktek bid’ah di dalam melakukan shalat. Tidak bermaksud untuk
mengkalim bahwa praktek shalat yang
dilakukan oleh kelompok ini yang paling benar, hanya saja ingin memberikan
penjelasan bahwa beberapa bacaan dan gerakan dalam shalat adalah berdasar pada
sebuah dalil: Al-Qur’an, Hadits Nabi, dan qaul beberapa ulama klasik juga untuk
memantapkan (menghilangkan keragu-raguan) kalau dikatakan praktek shalat
dilakukan oleh warga nahdhiyyin itu tidak berdasar pada dalil syar’i.
Buku ini dimulai dari bahasan mengenai keutamaan shalat, apa
saja persiapan sebelum shalat, gambaran bagaimana Rasullullah mengerjakan
shalat, amaliah (wiritan) setelah shalat, keutamaan shalat berjamaah, hal-hal
yang perlu dihindari ketika sedang shalat, dan macam-macam shalat sunnah. Masing-masing
topik bahasan itu disertai dengan bacaan, dalil Qur’an dan Hadits Nabi serta
pendapat ulama-ulama klasik. Selamat membaca!
Peresensi: Ach. Syaiful A’la (Kepala Madrasah Tsanawiyah Nurul Huda, Bicabbi Dungkek
Sumenep) Sumber: NU Online (www.nu.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar